Rabu, 27 November 2013

HUKUM DAN SANKSI


Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Menurut Pasal 1 Undang - Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun, sebagai mana yang terdapat dalam Pasal 30. Harga program komputer atau software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah.


3. Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang- Undang ini:
1. Illegal access, perbuatan melakukan akses secara tidak sah terhadap sistem komputer ini belum diatur secara jelas di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Untuk sementara waktu, Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dapat diterapkan.
Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan/atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan/atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.”
Pasal 50 Undang-Undang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-UndangTelekomunikasi dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. Illegal interception in the computers, systems and computer networks operation (intersepsi secara tidak sah terhadap operasional komputer, sistem, danjaringan komputer). Pasal 40 Undang-Undang Telekomunikasi dapat diterapkan terhadap jenis perbuatan intersepsi ini.                                                                                         Pasal 56 Undang-Undang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 40 tersebut dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.


4. Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang didalam ketentuan salah satu pasalnya mengatur mengenai di mungkinkannya penyimpanan dokumen perusahaan dalam bentuk elektronis (paperless) memberikan pengakuan bahwa dokumen perusahaan yang disimpan dimedia elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah.[21]Misalnya: Compact Disk Read Only Memory (CD ROM), dan Write Once Read Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.

5. Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui Internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang sebagai mana yang terdapat dalam pasal 2 ayat 1. Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan identitas dan data perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan bank sehingga apabila penyidik membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus dilakukan adalah pengirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk diteruskan ke Gubernur Bank Indonesia. Prosedur tersebut memakan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan data dan informasi yang diinginkan. Dalam Undang-Undang Pencucian Uang proses tersebut lebih cepat karena Kapolda cukup mengirimkan surat kepada Pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank, berbentuk: aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan dan dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku berdasarkan data–data tersebut. 
Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.


6. Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Selain Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 27 yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room selain mencari informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan propaganda melalui bulletin board atau mailing list.


7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik

Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP yang mengatur mengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.[22]

BAB III
KESIMPULAN


Penagakan hukum cybercrime adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan nilai yang mantap terhadap kejahatan dunia maya, yakniperbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dsan fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, faktor kebudayaan.

Cybercrime dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama, kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas. Kedua, Kejahatan yang menjadikan sistem teknologi informasi sebagai sasaran. Selain itu terdapat modus operandi dalam kejahatan dunia maya, seperti: unauthorized access, illegal contents, penyebaran virus secara sengaja, data forgery, cyber espionage, sabotage and extortion, cyberstalking, carding, hacking dan cracker, cybersquatting and typosquatting, hijacking, cyber terorism.
Adapun hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:perangkat hukum yang belum memadai, kemampuan penyidik, alat bukti, fasilitas komputer forensik. Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang khusus atau cyber law yang mengatur mengenai cybercrime. Tetapi, terdapat beberapa hukum positif yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime, antara lain:Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 2007.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Juju, Dominikus.2008. Tekhnik Menagkal Kejahatan Internet. Jakarta: Elek Media Komputindo.
HR, Ridwan.2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Manan, Abdul. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana.
Moeljatno. 2009. KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
M. Ramli,Ahmad. 2006. Cyber Law Dan HAKI. Bandung: Refika Aditama.
Riswandi, Budi Agus. 2003. Hukum Dan Internet Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar